Rabu, 18 April 2012

Direktur bank memilih investasi lukisan

Meraup 'Gain'Investasi LukisanHot Topic Thu, 06 Dec 2007 16:01:00 WIB Berinvestasi lukisan nyaris tak memiliki risiko. Dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun, saat harga berbagai produk investasi portofolio berguguran, nilai benda seni ini tetap terkerek. Bagaimana cara memilih lukisan yang tepat agar bisa meraup 'gain'? Prinsip investasi, 'High risk, high return' sepertinya tak berlaku buat barang investasi yang satu ini. Harga lukisan nyaris tak pernah turun layaknya produk investasi portofolio seperti saham dan obligasi. Padahal, keuntungan dari pergerakan harga lukisan hasil goresan tangan para pelukis ternama bisa beberapa kali lipat lebih tinggi dari kenaikan harga saham.Lukisan karya maestro seni lukis Affandi, misalnya, di tahun 90-an, masih berada di kisaran harga Rp 75 juta - Rp 150 juta. Saat ini, menurut Rishal M Luthan, seorang pengamat pasar lukisan, harga jual rata-rata karya pelukis kelahiran Cirebon, tahun 1907 itu sudah mencapai Rp 350 - Rp 700 juta. "Pada momen-momen tertentu, lukisan Affandi bahkan bisa terjual dengan harga Rp 1,2 miliar," ungkap profesional yang bekerja di salah satu balai lelang.Dalam sebuah diskusi bahkan ada prediksi yang menyebutkan, dalam lima tahun ke depan rata-rata harga pasar lukisan Affandi akan berada di kisaran harga Rp 700 juta - Rp 1 miliar. Harga perkiraan itu belum memasukkan unsur psikologis pasar yang umumnya bisa mengerek harga sebuah karya seni jauh melebihi harga wajar.Dira K Mochtar, direktur Bank International Indonesia adalah satu dari sejumlah profesional Tanah Air yang memanfaatkan lukisan sebagai produk investasi. Ia mengoleksi lebih dari 100 buah lukisan yang didapatnya dari berburu ke berbagai daerah. Sebagian dikoleksi untuk jangka panjang, dan selebihnya ditransaksikan bila harganya cukup tinggi. Keuntungan dari jual beli lukisan diakuinya mencapai rata-rata 50%.Bahkan Dira sempat mengisahkan memperoleh lukisan asli karya Raden Saleh berjudul Dalem Kertanegara di daerah Sumedang dengan cara menukarkannnya dengan sebuah sepeda motor. Ternyata lukisan yang dimilikinya sejak tahun 2003 itu harganya ditaksir kurator bernilai US$ 1 juta.Tak cuma lukisan karya pelukis legendaris atau modern art yang punya peluang memberi capital gain besar. Lukisan yang masuk katagori affordable art, atau karya pelukis pemula tak kalah menggiurkan `return'-nya. Irman Zahiruddin, seorang wealth manager yang juga penggemar lukisan, punya pengalaman membeli lukisan karya seorang pelukis yang kala itu belum terkenal pada sebuah pameran 10 tahun lalu seharga Rp 3,5 juta. Saat ini hasil karya sang pelukis sudah melambung mencapai Rp 15 juta. Kalau dirata-ratakan dalam setahun kenaikannya mencapai 33%.Bagi Irman pribadi, mengoleksi lukisan lebih menguntungkan dibanding membeli obligasi atau saham. Menurutnya, obligasi atau saham tidak bisa dinikmati. Sementara lukisan, selain memiliki nilai investasi, bisa dinikmati keindahannya. Selain itu, orang akan mengapresiasi lukisan tersebut, dan bisa segera ditawar dengan harga tinggi oleh peminat yang melihatnya.

Men Sagan at Galeri Santi

MURID YANG BAGUS, PANDAI MENIRU GURU [ Selasa, 4 Maret 2008 .235 pembaca 2.380 byte ]JAKARTA Sekitar 50 lukisan cat minyak karya Men Sagan tengah dipamerkan di Galeri Santi, Jl Banda No 4, Kemang, Jakarta Selatan. Pameran berlangsung sejak 2 hingga 17 Februari 2002, dengan tajuk Warisan Besar.Menurut pengamat seni rupa Agus Dermawan T, tema besar itu menjelaskan karya-karya Men Sagan mewarisi gaya seni lukis Affandi yang ekspresif. "Memang, lukisan Men Sagan sangat jelas merefleksikan ekspresi, teknik, konsepsi, dan falsafah Affandi," tegas Agus.Ia mencontohkan, karakteristik Affandi itu dapat ditemui pada lukisan berobjek perahu Kusamba, topeng, lelaki dengan ayam jago, barong, babi, Bali, dan seterusnya. Garis, kontur, hingga tumpahan emosi pada lukisan Men Sagan tampak mencitrakan vitalitas karya Affandi.Agus menambahkan, pencapaian 'Affandisme' Men Sagan termasuk luar biasa. Bahkan, pengamat seni dari Prancis Didier Hamel menyebut banyak karya Men Sagan lebih bagus dari karya Affandi.Nama Men Sagan bila dicerap lewat pendengaran bahasa Inggris artinya 'lelaki dari Sagan'. Dan, memang benar, Men Sagan adalah lelaki yang lahir di Kampung Sagan, yang terletak di tengah Kota Yogyakarta. Ia belajar melukis (akademis) kepada Affandi secara langsung. Berguru sekaligus bergaul lama sekali dengan maestro seni lukis itu menjelang 1970.Men Sagan tergolong seniman gesit dan banyak melakukan perjalanan. Ia rajin, dan yang unik, sering timbul tenggelam atau hilang muncul seperti jin. Sebentar dikabarkan berada di Surabaya, ternyata ada yang melihat ia di Belanda. Ketika dilaporkan berada di Ciamis, ternyata dia sedang jalan-jalan di Paris.Memasuki abad ke-21, Men Sagan diakui sebagai penganut School of Affandi yang paling serius dan sukses, baik dalam gaya, teknik, konsep, hingga falsafah. Dan, keterpukauan pada seorang guru, menurut Agus Dermawan T, adalah hal yang wajar dan pantas diberi tempat.Gaya kehidupan pada akhirnya seprti lingkaran spiral--selalu berputar--seperti yang ditegaskan filsuf Hegel dengan faham dialektikanya. Demikianlah, pada zaman lampau, seorang seniman dikatakan hebat kalau bisa meniru dengan sahih karya-karya gurunya. Pada zaman modern, seniman yang luar biasa adalah yang mampu memberontak sekaligus melebihi prestasi gurunya. Rupanya, di era postmodern ini, diakui kembali bahwa seniman andal adalah juga yang mampu meniru gurunya dengan wajar, seperti Men Sagan.(mediaindonesia)

Men Sagan in news

Sinar harapan 14 Feb 2002.
Pemeran Lukisan Men SaganBerkarya dengan Napas Reinkarnasi Affandi
JAKARTA — Guratan impresionisme-nya memang tak jauh berbeda dengan seorang Affandi. Men Sagan, seorang pelukis asal Sagan, Yogyakarta –dia tak memberikan nama aslinya, selain nama yang terjemahannya ”lelaki dari Sagan” itu. Kenyataannya, seniman ini begitu serius menekuni bentuk pendahulunya. Untuk affandisme, dia mengakui banyak belajar, mulai dari gaya, teknik, konsep, hingga filosofinya.


Lukisannya tak hanya mewarisi kualitas ekspresi, tetapi juga dinamisitas sapuan, goresan, pelototan serta penghayatan objek dan bentuk yang ditekuni Affandi. Gaya khas lukisannya yang mengungkapkan objek spontan dengan cat yang langsung dikeluarkan dari tube adalah teknik khas seorang Affandi. Lukisan gaya tube —yang mendominasi pamerannya itu— lahir dengan cat minyak tebal didominasi warna gelap sehingga melahirkan kekuatan perasaan dan jiwa pelukisnya. Tak bisa dielakkan, dari banyaknya pengikut gaya Affandi hingga kini, Men Sagan dianggap pengikut fanatik dan paling berhasil. Semua lukisan dengan karakter ”Affandisme” itu kini dipamerkan di Galeri Santi Jl. Benda No. 4 Kemang Jakarta Selatan, mulai 2 hingga 17 Februari. Tema pamerannya cukup sesuai, ”Warisan Besar”: dua kata yang tepat untuk mewakili fenomena yang dialami sang pelukis. Akhirnya, tak bisa dielakkan, dia terus melahirkan karya selaras dengan seorang Affandi. Objek-objek khas Affandi pun diambil, seperti perahu Kusamba, topeng, lelaki, ayam jago, barong, dan babi Bali. Bahkan pengamat seni, Didier Hamel, pengamat seni dari Prancis, pernah mengatakan bahwa karya Men Sagan lebih bagus dari karya Affandi. Maka, lahirlah karya-karya Men Sagan antara lain Mother Wild Boar, Nine Boats, Barong, Fishing Boats. Yang lain berupa Historical Heroes yang sangat dekat dengan gaya Affandi ketika melukiskan objek-objek topeng. Menurut Agus Darmawan T, pengamat seni, permasalahan warisan di dalam seni adalah suatu hal yang biasa. Buktinya, gaya lukisan khas Frans Hals dan Velasquez diikuti banyak orang. Bahkan, para pelukis itu kemudian terkenal sebagai pelukis penting. Di Bali, gaya Walter Spies diikuti oleh Ketut Wiranata. Di Bali juga, Antonio Blanco mewariskan keahlian dan kepiawaiannya di seni lukis pada Mario Blanco. Sebuah reinkarnasi. Di negeri Spanyol, hal itu juga pernah terjadi saat Velazques melahirkan para tokoh seni klasikisme. Juga ketika kharisma seorang Frans Hals di abad ke-16 berhasil melahirkan alirannya kepada keluarga besar mulai dari Harmen, Jan dan Reinier, cucu keponakannnya Antonie Dircksz dan menantu keponakan Pieter van Roestraen. Nama-nama para pewaris itu nyatanya tetap agung dan pernah ikut pameran pada tahun 1990, saat menyambut 100 tahun Vincent van Gogh.MenyimpangProses Men Sagan melukis sudah lama, sejak 1967. Kesukaannya adalah bertualang, melakukan pengembaraan dan perjalanan. Ia sempat pula hijrah ke Bali pada tahun 1969 dan membentuk grup tari Ramayana Balet tahun 1972. Pada tahun 1970-an, dia merambah ke Jakarta dan telah melakukan pameran tunggal berkali-kali. Pada tahun 1970 itu juga, dia mulai belajar melukis secara langsung pada Affandi. Dia bergaul dan berguru lama pada pelukis itu. Sebuah hubungan yang akhirnya cukup menentukan masa depan kariernya sebagai seorang pelukis.Sebenarnya, Men Sagan pernah juga mengambil bentuk lain selain style Affandi. Lukisan berbagai teknik dan gaya telah dicobanya, mulai dari corak realis, dekoratif, atau teknik kolase. Tahun 1979, Men Sagan bahkan sempat menggelar tiga periode karya secara khusus mulai dari periode sebelum Affandi, periode menganut affandisme dan setelah affandisme. Contoh salah satu karyanya yang mengambil bentuk non-affandisme adalah Three Wayang Puppets. Namun oleh peminat yang terus mengikut perkembangan karya-karyanya, Men Sagan malah dianggap menyimpang dari lingkup kehidupan seninya. Itulah pilihan, proses dan kreativitas seorang seniman semacam Men Sagan. Barangkali pendapat Agus tentang bentuk semacam itu cukup tepat, ”Mengapa seseorang harus berbeda dengan orang lain, jika sesungguhnya dirinya sendiri sama belaka dengan orang lain itu”. Apalagi bila kualitasnya bisa melebihi pendahulunya sepanjang sejarah. (srs)

Men Sagan as an artist

Men Sagan, a self taught artist, was the second child of Drh. Soeprapto who gained his art talent from his mother.
In 1970, he was introduced to the World famous Indonesian master, Affandi and was influenced by Affandi's art techniques. Since then, he became publicly known as an artist who has the expertise in painting Affandi's style.
To this date, Mensagan has held 3 joined exhibitions and 28 solo exhibitions. Many of his artworks are collected by private collectors around the world and his artworks can also be seen in Indonesian Fine Art Auction Hall such as 'MasterPiece’.
An expressionist painter characteristically has an urgency to simultaneously grab the movements of the moment he wants to describe along with capturing the textures of the object, a drive that often leads him to work much more passionately compared to the naturalists, the realists, or even the impressionists. Men Sagan achieved this by expressing his passion and emotion with spontaneity and intensity through his works.
He never made paintings in small sizes as he believes big canvases represent 'fierce, vivid and gallant' (copy article from Olivine art gallery)

Dijual lukisan men sagan Judul:Memancing Ikan

ukuran lukisan 80 x 100 cm, asli, tidak ada sertifikat, dijual 100 juta rupiah Hub.081617320202