Rabu, 18 April 2012

Men Sagan in news

Sinar harapan 14 Feb 2002.
Pemeran Lukisan Men SaganBerkarya dengan Napas Reinkarnasi Affandi
JAKARTA — Guratan impresionisme-nya memang tak jauh berbeda dengan seorang Affandi. Men Sagan, seorang pelukis asal Sagan, Yogyakarta –dia tak memberikan nama aslinya, selain nama yang terjemahannya ”lelaki dari Sagan” itu. Kenyataannya, seniman ini begitu serius menekuni bentuk pendahulunya. Untuk affandisme, dia mengakui banyak belajar, mulai dari gaya, teknik, konsep, hingga filosofinya.


Lukisannya tak hanya mewarisi kualitas ekspresi, tetapi juga dinamisitas sapuan, goresan, pelototan serta penghayatan objek dan bentuk yang ditekuni Affandi. Gaya khas lukisannya yang mengungkapkan objek spontan dengan cat yang langsung dikeluarkan dari tube adalah teknik khas seorang Affandi. Lukisan gaya tube —yang mendominasi pamerannya itu— lahir dengan cat minyak tebal didominasi warna gelap sehingga melahirkan kekuatan perasaan dan jiwa pelukisnya. Tak bisa dielakkan, dari banyaknya pengikut gaya Affandi hingga kini, Men Sagan dianggap pengikut fanatik dan paling berhasil. Semua lukisan dengan karakter ”Affandisme” itu kini dipamerkan di Galeri Santi Jl. Benda No. 4 Kemang Jakarta Selatan, mulai 2 hingga 17 Februari. Tema pamerannya cukup sesuai, ”Warisan Besar”: dua kata yang tepat untuk mewakili fenomena yang dialami sang pelukis. Akhirnya, tak bisa dielakkan, dia terus melahirkan karya selaras dengan seorang Affandi. Objek-objek khas Affandi pun diambil, seperti perahu Kusamba, topeng, lelaki, ayam jago, barong, dan babi Bali. Bahkan pengamat seni, Didier Hamel, pengamat seni dari Prancis, pernah mengatakan bahwa karya Men Sagan lebih bagus dari karya Affandi. Maka, lahirlah karya-karya Men Sagan antara lain Mother Wild Boar, Nine Boats, Barong, Fishing Boats. Yang lain berupa Historical Heroes yang sangat dekat dengan gaya Affandi ketika melukiskan objek-objek topeng. Menurut Agus Darmawan T, pengamat seni, permasalahan warisan di dalam seni adalah suatu hal yang biasa. Buktinya, gaya lukisan khas Frans Hals dan Velasquez diikuti banyak orang. Bahkan, para pelukis itu kemudian terkenal sebagai pelukis penting. Di Bali, gaya Walter Spies diikuti oleh Ketut Wiranata. Di Bali juga, Antonio Blanco mewariskan keahlian dan kepiawaiannya di seni lukis pada Mario Blanco. Sebuah reinkarnasi. Di negeri Spanyol, hal itu juga pernah terjadi saat Velazques melahirkan para tokoh seni klasikisme. Juga ketika kharisma seorang Frans Hals di abad ke-16 berhasil melahirkan alirannya kepada keluarga besar mulai dari Harmen, Jan dan Reinier, cucu keponakannnya Antonie Dircksz dan menantu keponakan Pieter van Roestraen. Nama-nama para pewaris itu nyatanya tetap agung dan pernah ikut pameran pada tahun 1990, saat menyambut 100 tahun Vincent van Gogh.MenyimpangProses Men Sagan melukis sudah lama, sejak 1967. Kesukaannya adalah bertualang, melakukan pengembaraan dan perjalanan. Ia sempat pula hijrah ke Bali pada tahun 1969 dan membentuk grup tari Ramayana Balet tahun 1972. Pada tahun 1970-an, dia merambah ke Jakarta dan telah melakukan pameran tunggal berkali-kali. Pada tahun 1970 itu juga, dia mulai belajar melukis secara langsung pada Affandi. Dia bergaul dan berguru lama pada pelukis itu. Sebuah hubungan yang akhirnya cukup menentukan masa depan kariernya sebagai seorang pelukis.Sebenarnya, Men Sagan pernah juga mengambil bentuk lain selain style Affandi. Lukisan berbagai teknik dan gaya telah dicobanya, mulai dari corak realis, dekoratif, atau teknik kolase. Tahun 1979, Men Sagan bahkan sempat menggelar tiga periode karya secara khusus mulai dari periode sebelum Affandi, periode menganut affandisme dan setelah affandisme. Contoh salah satu karyanya yang mengambil bentuk non-affandisme adalah Three Wayang Puppets. Namun oleh peminat yang terus mengikut perkembangan karya-karyanya, Men Sagan malah dianggap menyimpang dari lingkup kehidupan seninya. Itulah pilihan, proses dan kreativitas seorang seniman semacam Men Sagan. Barangkali pendapat Agus tentang bentuk semacam itu cukup tepat, ”Mengapa seseorang harus berbeda dengan orang lain, jika sesungguhnya dirinya sendiri sama belaka dengan orang lain itu”. Apalagi bila kualitasnya bisa melebihi pendahulunya sepanjang sejarah. (srs)

Tidak ada komentar: